Makalah Mata Kuliah Tafsir "Materi Pendidikan Keluarga"


  

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi  Wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah serta inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Materi Pendidikan Keluarga ” dengan lancar. Dalam penulisan makalah ini kami tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan terimakasih kepada Bapak Muallim Mukhtar, S.Pd.I., M.Pd. Selaku dosen pembimbing mata kuliah Tafsir Tarbawy, dan semua pihak yang telah membantu selesainya penyusunan makalah ini.

            Kami sadar bahwa sebagai manusia tentu mempunyai kesalahan dan kekhilafan. Oleh karena itu kami selaku penulis makalah ini mohon maaf apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kesalahan.

            Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan para pembaca yang budiman pada umumnya.


                                                                                                        Tangerang,              April 2019

Iqbal Maulana

 Wassalamu’alaikum Warahmatullahi  Wabarakatuh

                          

 
DAFTAR ISI

 


Kata
Pengantar ......................................................................  i

Daftar Isi .................................................................................  ii

 

 

BAB I     PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah ......................................................  1
B. Rumusan
Masalah ...............................................................  1

C. Tujuan Penulisan .................................................................  2

 

 

BAB II    PEMBAHASAN


A. Pengertian Pendidikan Keluarga .........................................  3

B. Tujuan dan Bentuk-Bentuk Pendidikan Keluarga ..............  9
C. Fungsi Pendidikan Keluarga ............................................... 15

D. Metode Pendidikan Keluarga ............................................. 21

E. Pelaksanaan Pendidikan Keluarga ....................................... 27

 

BAB III   KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan ......................................................................... 33

B. Saran .................................................................................... 34


DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang Masalah

Proses belajar mengajar keberhasilannya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Slamento faktor intern adalah faktor yang ada dalam diri individu, sedangkan faktor ekstern adalah faktor yang ada diluar individu.

Pendidikan keluarga adalah salah satu bentuk pendidikan di luar sekolah yang besar pengaruhnya terhadap keberhasilan siswa dalam belajar. Dan pendidikan keluarga yang maksimal, memiliki kecenderungan untuk meningkatkan minat siswa dalam belajar, yang pada akhirnya akan mempengaruhi pula terhadap belajar siswa. Sedangkan lemahnya pendidikan keluarga memiliki kecenderungan untuk melemahkan minat siswa dalam belajar dan akan melemahkan pula terhadap prestasi belajar siswa.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.

1.    Apakah pengertian lingkungan pendidikan keluarga ?

2.    Apakah tujuan, fungsi dan ruang lingkup pendidikan keluarga ?

3.    Bagaimana pentingnya pendidikan keluarga ?

4.    Bagaimana strategi pendidikan keluarga ?

 

C.    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan nakalah ini adalah sebagai berikut.

1.        Untuk mengetahui pengertian lingkungan pendidikan keluarga.

2.        Untuk mengetahui tujuan, fungsi dan ruang lingkup pendidikan keluarga.

3.        Untuk mengetahui bagaimana pentingnya pendidikan keluarga.

4.        Untuk mengetahui strategi pendidikan keluarga.

 


 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian Pendidikan Keluarga

Kata pendidikan menurut etimologi berasal dari kata dasar “didik”. Dengan memberi awalan ”pe” dan akhiran “kan”, maka mengandung arti “perbuatan”[1]

Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu “paedagogie”, yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “education” yang berarti pengembangan atau bimbingan.[2]

Makna pendidikan dapat dilihat dalam pengertian secara khusus dan pengertian secara luas. Dalam arti khusus, pendidikan adalah bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaannya. Selanjutnya para pakar ilmu pengetahuan mengemukakan beberapa definisi pendidikan sebagai berikut:

1.    Menurut Hoogeveld yang dikutip oleh Abu Ahmadi dan Nur Ubhiyati, mendidik adalah membantu anak supaya anak itu kelak cakap menyelesaikan tugas hidupnya atas tanggung jawab sendiri.

2.    Menurut S. Brojonegoro yang dikutip oleh Abu Ahmadi dan Nur Ubhiyati, mendidik berarti memberi tuntutan kepada manusia yang belum dewasa dalam pertumbuhan dan perkembangan, sampai tercapainya kedewasaan dalam arti rohani dan jasmani.3Jadi, pendidikan dalam arti khusus hanya dibatasi sebagai usaha orang dewasa dalam membimbing anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaanya. Setelah anak menjadi dewasa dengan segala cirinya, maka pendidikan dianggap selesai. Pendidikan dalam arti khusus ini menggambarkan upaya pendidikan yang terpusat dalam lingkungan keluarga. Hal tersebut lebih jelas dikemukakan oleh Drijarkara, bahwa:

 

a)    Pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan tritunggal ayah- ibu-anak, di mana terjadi permanusiaan anak. Dia berproses untuk memanusiakan sendiri sebagai manusia purnawan.

b)   Pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan tritunggal, ayah- ibu-anak, di mana terjadi pembudayaan anak. Dia berproses untuk akhirnya bisa membudaya sendiri sebagai manusia purnawan.

c)    Pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan tritunggal, ayah- ibu-anak, di mana terjadi pelaksanaan nilai-nilai, dengan mana dia berproses untuk akhirnya bisa melaksanakan sendiri sebagai manusia purnawan.

3.    Menurut Drijarkara, pendidikan secara prinsip adalah berlangsung dalam lingkungan keluarga. Pendidikan merupakan tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu yang merupakan figur sentral dalam pendidikan. Ayah dan ibu bertanggung jawab untuk membantu memanusiakan, membudayakan, dan menanamkan nilai-nilai terhadap anak-anaknya. Bimbingan dan bantuan ayah dan ibu tersebut akan berakhir apabila sang anak menjadi dewasa, menjadi manusia sempurna atau manusia purnawan.[3]

Sedangkan pendidikan dalam arti luas merupakan usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya, yang berlangsung sepanjang hayat. Henderson mengemukakan bahwa pendidikan merupakan suatu proses pertumbuhan dan perkembangan, sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir. Warisan sosial merupakan bagian dari lingkungan masyarakat, merupakan alat bagi manusia untuk pengembangan manusia yang terbaik dan inteligen, untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.[4]

Sedangkan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa “Keluarga”: ibu bapak dengan anak-anaknya, satuan kekerabatan yang sangat mendasar di masyarakat.8 Keluarga merupakan sebuah institusi terkecil di dalam masyarakat yang berfungsi sebagai wahana untuk mewujudkan kehidupan yang tentram, aman, damai, dan sejahtera dalam suasana cinta dan kasih sayang diantara anggotanya.

Sedangkan pengertian keluarga menurut Hasan Langulung adalah unit pertama dan istitusi pertama dalam masyarakat dimana hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya, sebagaian besar bersifat hubungan-hubungan langsung.[5]

Menurut Abu Zahra bahwa institusi keluarga mencakup suami, isteri, anak-anak dan keturunan mereka, kakek, nenek, saudara-saudara kandung dan anak-anak mereka, dan mencakup pula saudara kakek, nenek, paman dan bibi serta anak mereka (sepupu).

Adapun pengertian keluarga dalam Islam adalah kesatuan masyarakat terkecil yang dibatasi oleh nasab (keturunan) yang hidup dalam suatu wilayah yang membentuk suatu struktur masyarakat sesuai syari‟at Islam, atau dengan pengertian lain yaitu suatu tatanan dan struktur keluarga yang hidup dalam sebuah sistem berdasarkan agama Islam.[6]

Pengertian ini dapat dibuktikan dengan melihat kehidupan sehari-hari umat Islam. Misalnya dalam hubungan waris terlihat bahwa hubungan keluarga dalam pengertian keturunan tidak terbatas hanya  pada ayah  ibu  dan anak-anak  saja, tetapi lebih  jauh dari  itu, dimana kakek, nenek, saudara ayah, saudara ibu, saudara kandung, saudara sepupu, anak dari anak, semuanya termasuk kedalam saudara atau keluarga yang mempunyai hak untuk mendapatkan waris.

Dari beberapa istilah diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian keluarga adalah sebuah institusi pendidikan yang utama dan bersifat kodrati. Sebagai komunitas masyarakat terkecil, keluarga memiliki arti penting dan strategis dalam pembangunan komunitas masyarakat yang lebih luas. Oleh karena itu, kehidupan keluarga yang harmonis perlu dibangun di atas dasar sistem interaksi yang kondusif sehingga pendidikan dapat berlangsung dengan baik.12

Abdurrahman Al-Nahlawi menyimpulkan tujuan pembentukan keluarga dalam Islam setidaknya ada lima, yaitu:[7]

a.       Mendirikan   syari‟at   Allah   dalam   segala   permasalahan   rumah tangga.

b.      Mewujudkan ketentraman dan ketenangan psikologis.

c.       Mewujudkan sunnah Rasulullah SAW.

d.      Memenuhi kebutuhan cinta kasih anak-anak.

e.       Menjaga fitrah anak agar tidak melakukan penyimpangan- penyimpangan, karena fitrah anak yang dibawanya sejak lahir perkembangannya ditentukan oleh orang tuannya.

Dari definisi keluarga di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan keluarga adalah pendidikan yang berlangsung dalam keluarga yang dilaksanakan oleh orang tua sebagai tugas dan tanggung jawabnya dalam mendidik anak dalam keluarga,[8] atau proses transformasi perilaku dan sikap di dalam kelompok atau unit sosial terkecil dalam masyarakat. Sebab keluarga merupakan lingkungan budaya yang pertama dan utama dalam menanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan perilaku yang penting bagi kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.

 

B.     Tujuan dan Bentuk-Bentuk Pendidikan Keluarga

1.      Tujuan pendidikan keluarga

Istilah “tujuan” atau “sasaran” atau “maksud” dalam bahasa Arab dinyatakan dengan ghayat atau ahdaf atau maqasid. Sedangkan dalam bahasa Inggris, istilah “tujuan” dinyatakan dengan “goal atau purpose” atau objective atau aim. Secara umum istilah-istilah itu mengandung pengertian yang sama yaitu perbuatan yang di arahkan kepada suatu  tujuan tertentu, atau arah, maksud yang hendak dicapai melalui upaya atau aktifitas.[9]

Dalam adagium ushuliyah dikatakan bahwa al-umur bima qoshidiha, hal itu berarti setiap tindakan dan aktivitas harus berorientasi pada tujuan atau rencana yang telah ditetapkan. Dapat diketahui bahwa tujuan dapat berfungsi sebagai standar untuk mengakhiri usaha serta mengarahkan usaha yang dilalui dan merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan- tujuan lain. Disamping itu, tujuan dapat membatasi ruang gerak usaha agar kegiatan dapat terfokus pada apa yang dicita-citakan, dan dapat memberi penilaian pada usaha-usahanya.[10]

Tujuan adalah sesuatu yang akan dituju atau akan dicapai  dengan suatu kegiatan atau usaha. Dalam kaitannya dengan pendidikan maka menjadi suatu yang hendak dicapai dengan kegiatan atau usaha dalam kaitannya dengan pendidikan. Menurut Marimba, tujuan pendidikan adalah terbentuknya kepribadian muslim, sebelum kepribadian muslim terbentuk, pendidikan agama Islam akan mencapai dahulu beberapa tujuan sementara, antara lain kecakapan jasmaniah, pengetahuan membaca, menulis, pengetahuan dan ilmu-ilmu kemasyarakatan, kesusilaan, keagamaan, kedewasaan jasmaniah dan rohani.[11]

Tujuan pendidikan adalah batas akhir yang dicita-citakan seseorang dan dijadikan pusat perhatiannya untuk dicapai melalui usaha.18 Pendapat lain mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah mengalami proses pendidikan baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya di mana individu itu hidup.

Tujuan pendidikan juga merupakan gambaran dari falsafah atau pandangan hidup manusia, baik secara perseorangan maupun kelompok. Membicarakan tujuan pendidikan akan menyangkut sistem nilai dan norma-norma dalam suatu konteks kebudayaan, baik dalam mitos, kepercayaan dan religi, filsafat, ideologi dan sebagainya.[12]

Menurut Syaibany ada tiga macam tahap tujuan pendidikan, yaitu:

1.      Tujuan tertinggi atau terakhir yaitu tujuan yang tidak diatasi oleh tujuan lain, sekalipun bertingkat-tingkat, di bawahnya tujuan lain yang kurang dekat dan kurang umum daripadanya.

2.      Tujuan ‘am atau tujuan umum yaitu perubahan-perubahan yang dikehendaki yang diusahakan untuk mencapainya.

3.      Tujuan khas atau khusus yaitu perubahan-perubahan yang diinginkan yang bersifat cabang atau bagian-bagian yang termasuk di bawah tiap-tiap tujuan pendidikan ‘am dan utama[13].

Tujuan umum pendidikan itu biasanya dikaitkan dengan pandangan hidup yang diyakini kebenarannya oleh penyusun tujuan tersebut. Di dalam merumuskan tujuan itu pandangan hidup itulah sebagai dasarnya. Pendidikan hanyalah suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya (survival) baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat,[14] oleh karenanya tujuan pendidikan haruslah berpangkal kepada falsafah dan pandangan hidup yang berdasarkan agama.[15]

Jadi, yang dimaksud dengan tujuan pendidikan keluarga adalah memelihara, melindungi anak sehingga dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Keluarga merupakan kesatuan hidup bersama yang utama dikenal oleh anak sehingga disebut lingkungan pendidikan utama. Proses pendidikan awal di mulai sejak dalam kandungan.

Latar belakang sosial ekonomi dan budaya keluarga, keharmonisan hubungan antar anggota keluarga, intensitas hubungan anak dengan orang tua akan sangat mempengaruhi sikap dan perilaku anak. Keberhasilan anak di sekolah secara empirik sangat dipengaruhi oleh besarnya dukungan orang tua dan keluarga dalam membimbing anak.

2.      Bentuk-bentuk pendidikan keluarga

Keluarga dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:

a.         Keluarga inti, yang terdiri dari bapak, ibu dan anak-anak, atau hanya ibu atau bapak atau nenek dan kakek.

b.        Keluarga inti terbatas, yang terdiri dari ayah dan anak-anaknya, atau ibu dan anak-anaknya.

c.         Keluarga luas (extended family), yang cukup banyak ragamnya seperti rumah tangga nenek yang hidup dengan cucu yang masih sekolah, atau nenek dengan cucu yang telah kawin, sehingga isteri dan anak- anaknya hidup menumpang juga.[16][17]

Ada tiga jenis hubungan keluarga yaitu:

·           Keluarga dekat (the close family), kerabat dekat yang terdiri atas individu yang terkait dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi, dan atau perkawinan, seperti suami isteri, orang tua, anak dan antar saudara (siblings).

·           Kerabat jauh (discretionari kin), kerabat jauh terdiri dari individu yang terikat dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi dan atau perkawinan, tetapi ikatan keluarganya lebih dari pada kerabat dekat. Anggota kerabat jauh kadang-kadang tidak menyadari akan adanya hubungan keluarga tersebut. Hubungan yang terjadi di antara mereka biasanya karena kepentingan pribadi dan bukan karena adanya kewajiban sebagai anggota keluarga. Biasanya mereka terdiri atas paman, bibi, keponakan, dan sepupu.

·           Orang yang dianggap kerabat, seorang dianggap kerabat karena adanya hubungan yang khusus, misalnya hubungan antar teman akrab.

Bentuk keluarga yang berkembang di masyarakat ditentukan oleh struktur keluarga dan domisili keluarga dalam seting masyarakatnya. Dalam hal ini keluarga dapat dikategorikan pada keluarga yang berada pada masyarakat pedesaan dengan bercirikan paguyuban, dan keluarga masyarakat perkotaan yang bercirikan patembayan. Keluarga pedesaan memiliki karakter keakraban antar anggota keluarga yang lebih luas dengan intensitas relasi yang lebih dekat, sedangkan keluarga perkotaan biasanya memiliki relasi lebih longgar dengan tingkat intensitas  pertemuan lebih terbatas.[18]

Dalam perkembangannya, kategori pedesaan dan perkotaan menjadi bergeser karena dipengaruhi oleh peran-peran anggota keluarga yang turut bergeser pula. Dahulu konsep pencari nafkah dibebankan pada suami dengan status kepala keluarga namun pergeseran kehidupan keluarga pada masyarakat tradisional menjadi masyarakat urban modern dapat mengubah gaya hidup, peran-peran sosial, jenis pekerjaan dan volume serta wilayah kerja yang tidak dapat dipisahkan secara dikotomis.

Bentuk-bentuk keluarga mengikuti perubahan konstruksi sosial di masyarakat. Pada masyarakat urban perkotaan seperti di Jakarta, terdapat tipologi keluarga yang tidak dapat dikategorikan ke dalam keluarga dari masyarakat nasib, mereka membentuk keluarga besar yang memiliki intensitas hubungan yang mirip dengan masyarakat paguyuban di pedesaan.

C.    Fungsi Pendidikan Keluarga

Fungsi merupakan gambaran sebagai apa yang dilakukan dalam keluarga. Fungsi keluarga berfokus pada proses yang digunakan oleh keluarga untuk mencapai tujuan keluarga tersebut. Proses ini termasuk komunikasi diantara anggota keluarga, penetapan tujuan, resolusi konflik, pemberian makanan, dan penggunaan sumber dari internal maupun eksternal.

Tujuan reproduksi, seksual, ekonomi dan pendidikan dalam keluarga memerlukan dukungan secara psikologi antar anggota keluarga, apabila dukungan tersebut tidak didapatkan maka akan menimbulkan konsekuensi emosional seperti marah, depresi dan perilaku yang menyimpang. Tujuan yang ada dalam keluarga akan lebih mudah dicapai apabila terjadi komunikasi yang jelas dan secara langsung. Komunikasi tersebut akan mempermudah menyelesaikan konflik dan pemecahan masalah.

1.    Fungsi Biologis

Bagi pasangan suami-isteri (keluarga), keluarga menjadi tempat untuk dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti sandang, pangan dan papan, sampai batas minimal dia dapat mempertahankan hidupnya. Fungsi biologis inilah yang membedakan perkawinan manusia dengan binatang, sebab fungsi ini diatur dalam suatu norma perkawinan yang diakui bersama.29 Fungsi biologis keluarga ini, untuk melanjutkan keturunan (reproduksi), dalam ajaran Islam juga disertai upaya sadar agar keturunannya menjadi generasi yang unggul dan berguna, yaitu generasi “dzurriyatun thoyyibah”.[19]

2.    Fungsi Edukatif

Fungsi edukatif (pendidikan), keluarga merupakan tempat pendidikan bagi semua anggotanya dimana orang tua memiliki peran yang cukup penting untuk membawa anak menuju kedewasaan jasmani dan ruhani dalam dimensi kognitif, afektif maupun skill, dengan tujuan untuk mengembangkan aspek mental spiritual, moral, intelektual, dan profesional. Pendidikan keluarga Islam didasarkan pada QS. at-Tahrim: “Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu….”(QS. At-Tahrim: 6)[20]

Fungsi edukatif ini merupakan bentuk penjagaan hak dasar manusia dalam memelihara dan mengembangkan potensi akalnya. Pendidikan keluarga sekarang ini pada umumnya telah mengikuti pola keluarga demokratis di mana tidak dapat dipilah-pilah siapa belajar kepada siapa. Peningkatan pendidikan generasi penerus berdampak pada pergeseran relasi antar peran-peran anggota keluarga. Karena itu bisa terjadi suami belajar kepada isteri, bapak atau ibu belajar kepada anaknya. Namun teladan baik dan tugas-tugas pendidikan dalam keluarga tetap menjadi tanggungjawab kedua orang tua. Dalam Hadits Nabi ditegaskan:

“Setiap anak lahir dalam keadaan suci, maka orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR. Ahmad Thabrani, dan Baihaqi).[21]

3.    Fungsi Religius

Fungsi religius, berkaitan dengan kewajiban orang tua untuk mengenalkan, membimbing, memberi teladan dan melibatkan anak serta anggota keluarga lainnya mengenai nilai-nilai dan kaidah-kaidah agama dan perilaku keagamaan. Dalam QS. Luqman: 13 mengisahkan peran orang tua dalam keluarga menanamkan aqidah kepada anaknya sebagaimana yang dilakukan Luqman al Hakim terhadap anaknya.

Artinya:“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran; hai ananda, janganlah kamu mempersekutukan Allah sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedhaliman yang besar”.(QS. Luqman: 13)[22]

Fungsi ini mengharuskan orangtua menjadi seorang tokoh inti dan panutan dalam keluarga, baik dalam ucapan, sikap dan perilaku sehari- hari, untuk menciptakan iklim dan lingkungan keagamaan dalam kehidupan keluarganya. Dengan demikian keluarga merupakan awal mula seseorang mengenal siapa dirinya dan siapa Tuhannya. Penanaman aqidah yang benar, pembiasaan ibadah dengan disiplin, dan pembentukan kepribadian sebagai seorang yang beriman sangat penting dalam mewarnai terwujudnya masyarakat religius.

4.    Fungsi Protektif

Fungsi protektif (perlindungan) dalam keluarga, dimana keluarga menjadi tempat yang aman dari gangguan internal maupun eksternal keluarga dan untuk menangkal segala pengaruh negatif yang masuk baik pada masa sekarang ini dan masa yang akan datang. Gangguan internal dapat terjadi dalam kaitannya dengan keragaman kepribadian anggota keluarga, perbedaan pendapat dan kepentingan, dapat menjadi pemicu lahirnya konflik bahkan juga kekerasan.

5.    Fungsi Sosialisasi

Fungsi sosialisasi adalah berkaitan dengan mempersiapkan anak untuk menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, mampu memegang norma-norma kehidupan secara universal baik inter relasi dalam keluarga itu sendiri maupun dalam mensikapi masyarakat yang pluralistik lintas suku, bangsa, ras, golongan, agama, budaya, bahasa maupun jenis kelaminnya.

Dalam melaksanakan fungsi ini, keluarga berperan sebagai penghubung antara kehidupan anak dengan kehidupan sosial dan norma- norma sosial, sehingga kehidupan di sekitarnya dapat dimengerti oleh anak, dan pada gilirannya anak dapat berfikir dan berbuat positif di dalam dan terhadap lingkungannya. Lingkungan yang mendukung sosialisasi antara lain ialah tersedianya lembaga-lembaga dan sarana pendidikan serta keagamaan.

6.    Fungsi Rekreatif

Fungsi ini tidak harus dalam bentuk kemewahan, serba ada, dan pesta pora, melainkan merupakan tempat yang dapat memberikan kesejukan dan melepas lelah dari seluruh aktifitas masing-masing anggota keluarga. Suasana rekreatif akan dialami oleh anak dan anggota keluarga lainnya, apabila dalam kehidupan keluarga itu terdapat suasana yang menyenangkan, saling menghargai, menghormati, dan menghibur masing- masing anggota keluarga sehingga tercipta hubungan harmonis, damai, kasih sayang dan setiap anggota keluarga merasa “rumahku adalah surgaku”.

7.    Fungsi Ekonomis

Fungsi ekonomis menunjukkan bahwa keluarga merupakan kesatuan ekonomis. Dimana keluarga memiliki aktivitas dalam fungsi ini yang berkaitan dengan pencarian nafkah, pembinaan usaha, perencanaan anggaran belanja, baik penerimaan maupun pengeluaran biaya keluarga, pengelolaan dan bagaimana memanfaatkan sumber-sumber penghasilan dengan baik, mendistribusikan secara adil dan proporsional, serta dapat mempertanggungjawabkan kekayaan dan harta bendanya secara sosial maupun moral.

Pelaksanaan fungsi ini oleh dan untuk keluarga dapat meningkatkan pengertian dan tanggungjawab bersama para anggota keluarga dalam kegiatan ekonomi. Pada gilirannya, kegiatan dan status ekonomi keluarga akan mempengaruhi, baik harapan orang tua terhadap masa depan anaknya, maupun harapan anak itu sendiri.[23]

Ditinjau dari ketujuh fungsi keluarga tersebut, maka jelaslah bahwa keluarga memiliki fungsi yang vital dalam pembentukan individu. Oleh karena itu keseluruhan fungsi tersebut harus terus menerus dipelihara. Jika salah satu dari fungsi-fungsi tersebut tidak berjalan, maka akan terjadi ketidakharmonisan dalam sistem keteraturan dalam keluarga.[24]

D.    Metode Pendidikan Keluarga

Metode atau metoda berasal dari bahasa Yunani yaitu metha dan hodos. Metha berarti melalui atau melewati, dan hodos berarti jalan atau cara. Metode berarti jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam bahasa Arab disebut thariqat. Mengajar berarti menyajikan atau menyampaikan. Jadi, metode mengajar berarti suatu cara yang harus dilalui untuk menyajikan bahan pengajaran agar tercapai tujuan pengajaran.

Langgulung berpendapat bahwa penggunaan metode didasarkan atas tiga aspek pokok yaitu:

1.    Sifat-sifat dan kepentingan yang berkenaan dengan tujuan utama pendidikan Islam, yaitu pembinaan manusia mukmin yang mengaku sebagai hamba Allah.

2.    Berkenaan dengan metode-metode yang betul-betul berlaku yang disebutkan dalam Al-Qur’anatau disimpulkan daripadanya.

3.    Membicarakan tentang pergerakan (motivation) dan disiplin dalam istilah Al-Qur’an disebut ganjaran (sawab) dan hukuman (iqab).[25][26]

Berhasil atau tidaknya suatu pendidikan, antara lain juga tergantung pada metode yang dipergunakannya. Karena metode pendidikan atau pengajaran merupakan salah satu komponen yang ikut menentukan keberhasilan pendidikan disamping komponen-komponen yang lain, seperti tujuan materi dan lain-lain sebagainya.

Demikian pula halnya pendidikan keluarga, juga memerlukan adanya metode sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Rasulullah telah memberikan contoh bagaimana metode mendidik agama yang tepat yang dapat dipergunakan dalam lembaga pendidikan formal di sekolah, informal dalam keluarga atau non formal di masyarakat. Adapun metode-metode yang dipergunakan oleh Rasulullah dahulu antara lain:

1)      Metode Uswatun Hasanah

Metode uswatun hasanah atau pemberian contoh teladan yang baik, sangat cocok untuk diterapkan sebagai salah satu metode mendidik agama dalam keluarga. Yaitu dengan pemberian contoh tauladan dari orang tua dalam segala sikap, kata-kata maupun dalam perbuatannya. Karena anak-anak pertama kali yang akan ditiru adalah orang tuanya baru kemudian guru-guru atau masyarakat sekitarnya.

Dalam Al- Qur‟an surat Al-Ahzab ayat 21 di sebutkan: Artinya:“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu”.(QS. Al-Ahzab: 21)

2)      Metode Nasehat, Ceramah

Metode pemberian nasehat adalah metode yang sangat tepat untuk diterapkan dalam pendidikan keluarga. Lebih-lebih metode ini dicontohkan  dalam  Al-Qur‟an,   yaitu   pada   saat   Luqmanul  Hakim mendidik kepada anaknya, sebagaimana disebutkan dalam surat Luqman ayat 13: Artinya:“Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, dan dia menasehatinya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedhaliman yang besar”.(QS. Luqman: 13)39[27]

Kemudian juga disebutkan dalam surat An-Nahl ayat 125: Artinya:“Ajaklah kepada Tuhanmu dengan bijaksana dan dengan memberikan nasehat yang baik”.(QS. An-Nahl: 125)

Disamping pemberian nasehat, juga dapat dipergunakan metode cerita, menceritakan Nabi-Nabi, pahlawan-pahlawan Islam dan lain-lain sebagainya. Metode ini dapat dimasukkan dalam metode ceramah, karena pada dasarnya metode ceramah adalah penuturan lewat lisan. Metode ini banyak dipergunakan oleh para  Rasul, seperti dalam do’a Nabi Musa: “Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, dan lepaskanlah kekeluan lidahku, agar mereka faham kata-kataku”.

 

 

3)      Metode Tanya Jawab

Metode tanya jawab ini dapat dipergunakan dalam pendidikan keluarga, karena pada umumnya anak-anak sejak kecil mereka sering bertanya, misalnya tentang siapa yang membuat bumi seisinya, siapa Tuhan dan lain-lain sebagainya. Semakin besar anak tersebut, maka pertanyaannya juga semakin beragam. Karena itu maka orang tua harus pandai-pandai dalam menjawab pertanyaan itu, agar jangan menimbulkan keraguan dalam jiwa anak.42 Metode tanya jawab ini juga dipergunakan pada masa Rasulullah, pada saat beliau mengutus Mu‟az bin Jabal untuk menjadi hakim di Yaman, tentang penentuan Hukum Islam.

4)      Metode Demonstrasi

Metode demonstrasi yaitu, memperlihatkan kepada anak car-cara melakukan suatu perbuatan, seperti misalnya cara wudlu, cara sholat dan lain sebagainya. Metode ini juga dipergunakan oleh Rasulullah pada saat beliau akan mengajarkan sholat.

Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi: “Sholatlah kamu sekalian seperti kamu lihat aku melakukan sholat”. (H.R. Bukhari)

Metode demonstrasi ini sangat penting artinya bagi pendidikan keluarga, yang dipergunakan untuk mengajarkan kepada anak cara- cara melakukan ibadah. Setelah diperlihatkan kepada mereka cara-cara berwudlu dan cara-cara melakukan sholat, maka selanjutnya melatih mereka untuk melakukannya sendiri.

5)      Metode Musyawarah dan Diskusi

Adakalanya dalam mendidik agama dalam keluarga, kita mempergunakan metode musyawarah, dimana anak-anak dilihatkan untuk ikut memecahkan suatu masalah. Sehingga dengan demikian anak-anak merasa diakui keberadaannya, terutama baik anak yang sudah remaja. Sebagai contoh: mengadakan musyawarah tentang pembagian harta, zakat, jumlahnya, macamnya zakat, siapa-siapa yang akan mendapatkan bagian dan lain sebagainya. Secara langsung anak-anak akan mendapatkan pendidikan tentang zakat dan sekaligus mempraktekannya.

6)      Metode Karya Wisata

Metode karya wisata ialah suatu metode mendidik agama dengan jalan mengajak anak-anak untuk melihat keagungan ciptaan Allah. Suatu waktu memang kita sebagai orang tua perlu mengajak anak-anak untuk melakukan wisata, disamping untuk rekreasi, juga ada manfaat lain, untuk menunjukkan kepada anak-anak ciptaan Allah Yang Maha Kuasa. Seperti melihat pantai, gunung-gunung, air terjun dan lain sebagainya. Dan dengan cara ini diharapkan akan dapat meningkatkan keimanannya kepada Allah SWT.

Disamping enam metode yang disebutkan diatas, masih ada metode- metode lain yang dapat dipergunakan, seperti metode drill, sosio drama dan lain sebagainya. Yang penting harus diperhatikan adalah, dalam memilih metode-metode itu hendaknya selalu disesuaikan dengan situasi dan kondisi anak dan sesuai pula dengan pokok materi yang akan ditanamkan kepada mereka.

E.     Pelaksanaan Pendidikan Keluarga

Pendidikan keluarga dilaksanakan di lingkungan keluarga. Pendidikan keluarga dilaksanakan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Anak menyerap norma-norma pada anggota keluarganya, baik ayah, ibu, maupun kanak- kanaknya. Keluarga merupakan ajang pertama dimana sifat-sifat kepribadian anak bertumbuh dan terbentuk.

Pelaksanaan kegiatan pendidikan ini tanpa suatu organisasi yang ketat tanpa adanya program waktu (tak terbatas) dan tanpa adanya evaluasi. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan pendidikan keluarga :

1.    Usaha untuk menciptakan suasana yang bersih dalam lingkungan keluarga.

2.    Sikap anggota keluarga hendaklah belajar berpegang pada hak dan kewajiban masing-masing.

3.    Orang tua hendaklah mengetahui tabiat untuk anak-anaknya.

4.    Hindari segala sesuatu yang menusuk perkembangan jiwa anak.

5.    Biarkan anak bergaul dengan teman-temannya di luar lingkungan keluarga.

6.    Ciptakan kondisi yang harmonis antara anggota keluarga.

Konsepsi pendidikan Islam dalam keluarga dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu:

a.    Periode Pra-Konsepsi

b.   Periode Pra-Natal

c.    Periode Post-Natal

Masing-masing periode tersebut akan dijelasan secara singkat.

1)   Periode Pendidikan Pra Konsepsi

Yaitu dimaksud periode pendidikan Pra-Konsepsi adalah salah satu upaya persiapan pendidikan yang dimulai semenjak seseorang merancang untuk membentuk keluarga, yang dimulai dengan memilih calon pasangan hidupnya, dan kemudian melaksanakan perkawinan dulunya.

Dalam hal ini Islam telah mengajarkan hal-hal sebagai berikut:

Pada saat seseorang akan memilih jodoh, maka agama Islam mengajarkan, agar supaya mengutamakan segi agamanya. Yang berarti seorang Muslim atau Muslimah hendaknya mencari pasangan hidupnya yang sama-sama beragama Islam, agar kelak rumah tangganya menjadi tenang tentram (sakinah) serta bahagia lahir dan batin.46 Sebagaimana diajarkan dalam firman Allah dalam surat Al-Baqaroh ayat 221: Artinya:“Dan janganlah kamu menikah dengan wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman. Sesungguhnya budak perempuan yang mukmin itu lebih baik daripada perempuan yang musyrik, walaupun dia itu sangat mempesona kamu. Dan janganlah kamu menikahkan (anak perempuanmu) dengan pria musyrik sampai mereka beriman. Sesungguhnya budak laki-laki yang mukmin itu lebih baik daripada laki-laki musyrik; walaupun mereka amat menggiurkan kamu. Mereka itu mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan pengampunan dengan izin-Nya”.(QS. Al-Baqarah: 221)[28]

Berdasarkan ayat tersebut diatas, maka jelaslah pada kita, bahwa Islam telah memberikan acuan kepada kita bagaimana cara memilih calon isteri dan calon suami, yaitu pertimbangan pertama harus yang seagama dan berbudi pekerti yang baik, kemudian barulah masalah keturunan, harta dan kebagusan atau kecantikannya. Karena ketika seseorang hendak menikah, haruslah sudah terbayang akan tanggug jawab terhadap anak- anak yang akan lahir kelak.

Setelah mendapat calon suami atau isteri yang beriman atau seagama, maka dilanjutkan ke jenjang perkawinan. Perkawinan tersebut haruslah sesuai dengan hukum syari‟at Islam, dan bagi kita bangsa Indonesia harus sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan No.1/1974.

Yang berarti bahwa perkawinan tersebut haruslah syah menurut   syariat   Islam   dan   syah   menurut   hukum negara.

Dengan adanya perkawinan yang syah tersebut, maka akan mempunyai dampak positif dalam kehidupan rumah tangganya dan juga bagi keturunannya. Sehingga dengan demikian akan dapat terwujud tujuan perkawinan sesuai dengan ajaran Islam yaitu terciptanya keluarga sakinah, selalu rukun dan harmonis dan penuh dengan cinta kasih diantara anggota keluarga.

Setelah terbentuknya rumah tangga Muslim itu, maka langkah berikutnya adalah mencari rizki yang halal dan juga makan makanan  yang  halal pula. Sebagaimana disebutkan Al-Qur’an ayat 114 surat an-Nahl. Artinya: “Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah”.(QS. An-Nahl: 114)[29]

Langkah selanjutnya dalam pendidikan pra-konsepsi tersebut, adalah    mengucapkan    do’a-do’a    bilamana    suami    isteri melakukan senggama.[30]

2)   Periode Pendidikan Pra-Natal

Pendidikan Pra-Natal, adalah pendidikan yang dilaksanakan pada saat anak masih merupakan janin/embrio yaitu pada saat anak masih  berada  dalam  rahim  ibunya.  Al-Qur’an telah  memberikan contoh kepada kita tentang pendidikan pra-natal, sebagaimana disebutkan dalam surat Ali Imran ayat 35. Artinya:“(Ingatlah), ketika isteri 'Imran berkata: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui".(QS. Al- Imran: 35)

Dari ayat tersebut memberikan contoh kepada kita ummat Islam untuk  melaksanakan  pendidikan  pra-natal  dengan  cara  berdo’a kepada Allah, agar anak yang dikandungnya menjadi anak yang sholeh.

3)   Periode Pendidikan Post-Natal

Pendidikan Post-Natal yaitu pendidikan yang dilakukan setelah lahirnya anak sampai pada saat anak meninggal dunia. Setelah bayi itu lahir, barulah dia diakui sebagai pribadi yang mandiri, sebagaimana dikemukakan oleh Habsi Ashidiqi dalam buku Pengantar Hukum Islam. Beliau mengemukakan: Apabila janin lahir, barulah diakui berdiri sendiri sebagai seorang pribadi, dan sempurnalah pertanggungannya dan barulah dia dipandang ahli untuk memperoleh hak.

Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam dalam keluarga, semenjak anak tersebut dilahirkan, maka sejak itu pula orang tua wajib memberikan pendidikan kepada anaknya utamanya pendidikan Islam. Namun, dalam pemberian pendidikan itu harus disesuaikan dengan perkembangan jiwa anak.


BAB III

PENUTUP

 

A.    Simpulan

1.   Keluarga merupakan wadah bagi anak dalam konteks proses belajarnya untuk mengembangkan dan membentuk diri dalam fungsi sosial. Disamping itu juga sebagai tempat belajar bagi anak dalam segala sikap untuk berbakti kepada Tuhan sebagai perwujudan nilai hidup yang tertinggi.

2.        Kerja sama antara keluarga dan sekolah sangat di butuhkan, karena tidak mungkin keluarga dapat mendidik anak secara detail dan rinci, sebab jika orang tua saja yang mendidik anak akan ketinggalan pengetahuan, baik dari intelektualnya maupun sosialnya. Perlu kita ketahui pendidikan disekolah akan lebih efektif karena sekolah memiliki program tertentu sesuai dengan tujuan pendidikan nasional dan visi misi sekolah.

3.        Oleh sebab itu dengan adanya kerja sama dari sekolah, masyarakat, guru dan keluarga khusunya dibidang pendidikan peserta didik, maka akan menghasilkan anak didik yang tidak hanya unggul dalam bidang akademik tetapi juga mampu hidup bermasyarakat.

 

 

B.     Saran

Makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu kami sebagai penyusun berharap agar setiap mahasiswa mencari dan menggali sumber-sumber lain dari buku-buku yang relevan. Untuk kemajuan kita bersama.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Hafid Anwar dkk,2013,Konsep Dasar Ilmu Pendidikan,PT Alfabeta: Bandung.

Hasbulloh,2011, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.

http://indonesia-admin.blogspot.com/2010/02/kerja-sama-keluarga-sekolah.html diakses tanggal 3 April 2019 20.00 WIB

http://teratakhijau3.blogspot.com/2013/01/konsep-hubungan-sekolahdan-masyarakat 1813.html  diakses tanggal 3 April 2019 20.00 WIB

Kurniawan, 2011, pemikiran pendidikan, LP2 STAIN CURUP : Curup .

Nuzuar, 2012,  Pengantar Ilmu Pendidikan, LP2 STAIN CURUP: Curup.

 

 

 



[1] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), 702
[2] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), cet. Ke-2, 1
[3] Abu Ahmadi dan Nur Ubhiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), 70
[4] M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), 11 
[5] Hasan Langgulung, Manusia dan pendidikan, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995), cet. Ke- 3, 40
[6] Abdul Aziz, Pendidikan Agama dalam Keluarga: Tantangan Era Globalisasi, Himmah, 346
[7] Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyrakatan (Vol. 6, No. 15, Januari-April 2005), 73
[8] Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua & Anak dalam Keluarga, 2
[9] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 155-156
[10] Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), cet. Ke-3, 329
[11] Ahamd D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Maarif, 1989), 46
[12] Uyoh Sadulloh, Ilmu Pendidikan Islam, 58
[13] Hasan Langgulung, Teori-teori Kesehatan Mental, (Selangor: Pustaka Muda, 1983), 240
[14] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al- Ma‟arif, 1980), 147
[15] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 24
[16] Atas hendartini Habsjah, Jender dan Pola Kekerabatan dalam TO Ihromi (ed), Bunga Rampai Sosiologi Keluarga (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), 218
[18] Mufidah ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang: UIN Malang Press, 2008), cet. Ke-1, 41
[19] Mufidah ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, 43
[20] Muhammad Tholhah Hasan, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Keluarga, 8
[21] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Syamil Cipta Media, 2005), 560
[22] Muhammad bin Hiban Abu Hatim al Tamimiy, Shahih Ibnu Hibban, Juz 1 (Beirut: Muasasah Risalah, 1993), 336
[23] Muhammad Tholhah Hasan, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Keluarga, 8-10
[24] Mufidah ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, 47
[25] Zuhairini, Pendidikan Islam Dalam Keluarga, Pidato Pengukuhan Guru Besar, (Surabaya: Rapat Senat Terbuka IAIN Sunan Ampel, 1993), 29
[27] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 420
[28] Zuhairini, Pendidikan Islam Dalam Keluarga, 35
[29] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 280
[30] Zuhairini, Pendidikan Islam Dalam Keluarga, 39

No comments:

Post a Comment