KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah serta inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Materi Pendidikan Keluarga ” dengan lancar. Dalam penulisan makalah ini kami tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan terimakasih kepada Bapak Muallim Mukhtar, S.Pd.I., M.Pd. Selaku dosen pembimbing mata kuliah Tafsir Tarbawy, dan semua pihak yang telah membantu selesainya penyusunan makalah ini.
Kami sadar
bahwa sebagai manusia tentu mempunyai kesalahan dan kekhilafan. Oleh karena itu kami selaku penulis makalah ini mohon maaf apabila dalam
penyusunan makalah ini terdapat banyak kesalahan.
Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan para pembaca
yang budiman pada umumnya.
Tangerang, April 2019 Iqbal Maulana |
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ...................................................................... i
Daftar Isi ................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Keluarga ......................................... 3
B.
Tujuan dan Bentuk-Bentuk Pendidikan Keluarga .............. 9
C. Fungsi Pendidikan
Keluarga ............................................... 15
D. Metode Pendidikan Keluarga ............................................. 21
E. Pelaksanaan Pendidikan Keluarga ....................................... 27
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ......................................................................... 33
B. Saran .................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Proses belajar
mengajar keberhasilannya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Slamento
faktor intern adalah faktor yang ada dalam diri individu, sedangkan faktor
ekstern adalah faktor yang ada diluar individu.
Pendidikan
keluarga adalah salah satu bentuk pendidikan di luar sekolah yang besar
pengaruhnya terhadap keberhasilan siswa dalam belajar. Dan pendidikan keluarga
yang maksimal, memiliki kecenderungan untuk meningkatkan minat siswa dalam
belajar, yang pada akhirnya akan mempengaruhi pula terhadap belajar siswa.
Sedangkan lemahnya pendidikan keluarga memiliki kecenderungan untuk melemahkan
minat siswa dalam belajar dan akan melemahkan pula terhadap prestasi belajar
siswa.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai
berikut.
1. Apakah
pengertian lingkungan pendidikan keluarga ?
2. Apakah
tujuan, fungsi dan ruang lingkup pendidikan keluarga ?
3. Bagaimana
pentingnya pendidikan keluarga ?
4. Bagaimana
strategi pendidikan keluarga ?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan
penulisan nakalah ini adalah sebagai berikut.
1.
Untuk mengetahui
pengertian lingkungan pendidikan keluarga.
2.
Untuk mengetahui
tujuan, fungsi dan ruang lingkup pendidikan keluarga.
3.
Untuk mengetahui
bagaimana pentingnya pendidikan keluarga.
4.
Untuk mengetahui
strategi pendidikan keluarga.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pendidikan Keluarga
Kata pendidikan
menurut etimologi berasal dari kata dasar “didik”. Dengan memberi awalan ”pe”
dan akhiran “kan”, maka mengandung arti “perbuatan”[1]
Istilah
pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu “paedagogie”, yang
berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “education” yang berarti
pengembangan atau bimbingan.[2]
Makna pendidikan
dapat dilihat dalam pengertian secara khusus dan pengertian secara luas. Dalam
arti khusus, pendidikan adalah bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa
kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaannya. Selanjutnya para pakar
ilmu pengetahuan mengemukakan beberapa definisi pendidikan sebagai berikut:
1. Menurut
Hoogeveld yang dikutip oleh Abu Ahmadi dan Nur Ubhiyati, mendidik adalah
membantu anak supaya anak itu kelak cakap menyelesaikan tugas hidupnya atas
tanggung jawab sendiri.
2. Menurut
S. Brojonegoro yang dikutip oleh Abu Ahmadi dan Nur Ubhiyati, mendidik berarti
memberi tuntutan kepada manusia yang belum dewasa dalam pertumbuhan dan
perkembangan, sampai tercapainya kedewasaan dalam arti rohani dan
jasmani.3Jadi, pendidikan dalam arti khusus hanya dibatasi sebagai usaha orang
dewasa dalam membimbing anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaanya.
Setelah anak menjadi dewasa dengan segala cirinya, maka pendidikan dianggap
selesai. Pendidikan dalam arti khusus ini menggambarkan upaya pendidikan yang
terpusat dalam lingkungan keluarga. Hal tersebut lebih jelas dikemukakan oleh
Drijarkara, bahwa:
a) Pendidikan
adalah hidup bersama dalam kesatuan tritunggal ayah- ibu-anak, di mana terjadi
permanusiaan anak. Dia berproses untuk memanusiakan sendiri sebagai manusia
purnawan.
b) Pendidikan
adalah hidup bersama dalam kesatuan tritunggal, ayah- ibu-anak, di mana terjadi
pembudayaan anak. Dia berproses untuk akhirnya bisa membudaya sendiri sebagai
manusia purnawan.
c) Pendidikan
adalah hidup bersama dalam kesatuan tritunggal, ayah- ibu-anak, di mana terjadi
pelaksanaan nilai-nilai, dengan mana dia berproses untuk akhirnya bisa
melaksanakan sendiri sebagai manusia purnawan.
3. Menurut
Drijarkara, pendidikan secara prinsip adalah berlangsung dalam lingkungan
keluarga. Pendidikan merupakan tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu
yang merupakan figur sentral dalam pendidikan. Ayah dan ibu bertanggung jawab
untuk membantu memanusiakan, membudayakan, dan menanamkan nilai-nilai terhadap
anak-anaknya. Bimbingan dan bantuan ayah dan ibu tersebut akan berakhir apabila
sang anak menjadi dewasa, menjadi manusia sempurna atau manusia purnawan.[3]
Sedangkan
pendidikan dalam arti luas merupakan usaha manusia untuk meningkatkan
kesejahteraan hidupnya, yang berlangsung sepanjang hayat. Henderson
mengemukakan bahwa pendidikan merupakan suatu proses pertumbuhan dan
perkembangan, sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan sosial dan
lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir. Warisan sosial
merupakan bagian dari lingkungan masyarakat, merupakan alat bagi manusia untuk
pengembangan manusia yang terbaik dan inteligen, untuk meningkatkan
kesejahteraan hidupnya.
Jadi dapat
disimpulkan bahwa pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam
pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya
ke arah kedewasaan.[4]
Sedangkan Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa “Keluarga”: ibu bapak dengan
anak-anaknya, satuan kekerabatan yang sangat mendasar di masyarakat.8 Keluarga
merupakan sebuah institusi terkecil di dalam masyarakat yang berfungsi sebagai
wahana untuk mewujudkan kehidupan yang tentram, aman, damai, dan sejahtera
dalam suasana cinta dan kasih sayang diantara anggotanya.
Sedangkan
pengertian keluarga menurut Hasan Langulung adalah unit pertama dan istitusi
pertama dalam masyarakat dimana hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya,
sebagaian besar bersifat hubungan-hubungan langsung.[5]
Menurut Abu
Zahra bahwa institusi keluarga mencakup suami, isteri, anak-anak dan keturunan
mereka, kakek, nenek, saudara-saudara kandung dan anak-anak mereka, dan
mencakup pula saudara kakek, nenek, paman dan bibi serta anak mereka (sepupu).
Adapun
pengertian keluarga dalam Islam adalah kesatuan masyarakat terkecil yang dibatasi
oleh nasab (keturunan) yang hidup dalam suatu wilayah yang membentuk suatu
struktur masyarakat sesuai syari‟at Islam, atau dengan pengertian lain yaitu
suatu tatanan dan struktur keluarga yang hidup dalam sebuah sistem berdasarkan
agama Islam.[6]
Pengertian ini
dapat dibuktikan dengan melihat kehidupan sehari-hari umat Islam. Misalnya
dalam hubungan waris terlihat bahwa hubungan keluarga dalam pengertian
keturunan tidak terbatas hanya pada ayah ibu
dan anak-anak saja, tetapi
lebih jauh dari itu, dimana kakek, nenek, saudara ayah,
saudara ibu, saudara kandung, saudara sepupu, anak dari anak, semuanya termasuk
kedalam saudara atau keluarga yang mempunyai hak untuk mendapatkan waris.
Dari beberapa
istilah diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian keluarga adalah sebuah
institusi pendidikan yang utama dan bersifat kodrati. Sebagai komunitas
masyarakat terkecil, keluarga memiliki arti penting dan strategis dalam
pembangunan komunitas masyarakat yang lebih luas. Oleh karena itu, kehidupan
keluarga yang harmonis perlu dibangun di atas dasar sistem interaksi yang
kondusif sehingga pendidikan dapat berlangsung dengan baik.12
Abdurrahman
Al-Nahlawi menyimpulkan tujuan pembentukan keluarga dalam Islam setidaknya ada
lima, yaitu:[7]
a. Mendirikan syari‟at
Allah dalam segala
permasalahan rumah tangga.
b. Mewujudkan
ketentraman dan ketenangan psikologis.
c. Mewujudkan
sunnah Rasulullah SAW.
d. Memenuhi
kebutuhan cinta kasih anak-anak.
e. Menjaga
fitrah anak agar tidak melakukan penyimpangan- penyimpangan, karena fitrah anak
yang dibawanya sejak lahir perkembangannya ditentukan oleh orang tuannya.
Dari definisi keluarga di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pendidikan keluarga adalah pendidikan yang berlangsung dalam
keluarga yang dilaksanakan oleh orang tua sebagai tugas dan tanggung jawabnya
dalam mendidik anak dalam keluarga,[8] atau
proses transformasi perilaku dan sikap di dalam kelompok atau unit sosial
terkecil dalam masyarakat. Sebab keluarga merupakan lingkungan budaya yang
pertama dan utama dalam menanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan
dan perilaku yang penting bagi kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.
B.
Tujuan
dan Bentuk-Bentuk Pendidikan Keluarga
1. Tujuan
pendidikan keluarga
Istilah “tujuan”
atau “sasaran” atau “maksud” dalam bahasa Arab dinyatakan dengan ghayat atau
ahdaf atau maqasid. Sedangkan dalam bahasa Inggris, istilah “tujuan” dinyatakan
dengan “goal atau purpose” atau objective atau aim. Secara umum istilah-istilah
itu mengandung pengertian yang sama yaitu perbuatan yang di arahkan kepada
suatu tujuan tertentu, atau arah, maksud
yang hendak dicapai melalui upaya atau aktifitas.[9]
Dalam adagium
ushuliyah dikatakan bahwa al-umur bima qoshidiha, hal itu berarti setiap tindakan
dan aktivitas harus berorientasi pada tujuan atau rencana yang telah
ditetapkan. Dapat diketahui bahwa tujuan dapat berfungsi sebagai standar untuk
mengakhiri usaha serta mengarahkan usaha yang dilalui dan merupakan titik
pangkal untuk mencapai tujuan- tujuan lain. Disamping itu, tujuan dapat
membatasi ruang gerak usaha agar kegiatan dapat terfokus pada apa yang
dicita-citakan, dan dapat memberi penilaian pada usaha-usahanya.[10]
Tujuan adalah
sesuatu yang akan dituju atau akan dicapai
dengan suatu kegiatan atau usaha. Dalam kaitannya dengan pendidikan maka
menjadi suatu yang hendak dicapai dengan kegiatan atau usaha dalam kaitannya
dengan pendidikan. Menurut Marimba, tujuan pendidikan adalah terbentuknya
kepribadian muslim, sebelum kepribadian muslim terbentuk, pendidikan agama
Islam akan mencapai dahulu beberapa tujuan sementara, antara lain kecakapan
jasmaniah, pengetahuan membaca, menulis, pengetahuan dan ilmu-ilmu
kemasyarakatan, kesusilaan, keagamaan, kedewasaan jasmaniah dan rohani.[11]
Tujuan pendidikan
adalah batas akhir yang dicita-citakan seseorang dan dijadikan pusat
perhatiannya untuk dicapai melalui usaha.18 Pendapat lain mengatakan bahwa
tujuan pendidikan adalah perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah
mengalami proses pendidikan baik pada tingkah laku individu dan kehidupan
pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya di mana individu itu
hidup.
Tujuan
pendidikan juga merupakan gambaran dari falsafah atau pandangan hidup manusia,
baik secara perseorangan maupun kelompok. Membicarakan tujuan pendidikan akan
menyangkut sistem nilai dan norma-norma dalam suatu konteks kebudayaan, baik
dalam mitos, kepercayaan dan religi, filsafat, ideologi dan sebagainya.[12]
Menurut Syaibany
ada tiga macam tahap tujuan pendidikan, yaitu:
1. Tujuan
tertinggi atau terakhir yaitu tujuan yang tidak diatasi oleh tujuan lain,
sekalipun bertingkat-tingkat, di bawahnya tujuan lain yang kurang dekat dan
kurang umum daripadanya.
2. Tujuan
‘am atau tujuan umum yaitu perubahan-perubahan yang dikehendaki yang diusahakan
untuk mencapainya.
3. Tujuan
khas atau khusus yaitu perubahan-perubahan yang diinginkan yang bersifat cabang
atau bagian-bagian yang termasuk di bawah tiap-tiap tujuan pendidikan ‘am dan
utama[13].
Tujuan umum pendidikan itu biasanya dikaitkan dengan
pandangan hidup yang diyakini kebenarannya oleh penyusun tujuan tersebut. Di
dalam merumuskan tujuan itu pandangan hidup itulah sebagai dasarnya. Pendidikan
hanyalah suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan
hidupnya (survival) baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat,[14] oleh
karenanya tujuan pendidikan haruslah berpangkal kepada falsafah dan pandangan
hidup yang berdasarkan agama.[15]
Jadi, yang dimaksud dengan tujuan pendidikan
keluarga adalah memelihara, melindungi anak sehingga dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik. Keluarga merupakan kesatuan hidup bersama yang utama
dikenal oleh anak sehingga disebut lingkungan pendidikan utama. Proses
pendidikan awal di mulai sejak dalam kandungan.
Latar belakang sosial ekonomi dan budaya keluarga,
keharmonisan hubungan antar anggota keluarga, intensitas hubungan anak dengan
orang tua akan sangat mempengaruhi sikap dan perilaku anak. Keberhasilan anak
di sekolah secara empirik sangat dipengaruhi oleh besarnya dukungan orang tua
dan keluarga dalam membimbing anak.
2. Bentuk-bentuk
pendidikan keluarga
Keluarga
dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:
a.
Keluarga inti,
yang terdiri dari bapak, ibu dan anak-anak, atau hanya ibu atau bapak atau
nenek dan kakek.
b.
Keluarga inti
terbatas, yang terdiri dari ayah dan anak-anaknya, atau ibu dan anak-anaknya.
c.
Keluarga luas
(extended family), yang cukup banyak ragamnya seperti rumah tangga nenek yang
hidup dengan cucu yang masih sekolah, atau nenek dengan cucu yang telah kawin,
sehingga isteri dan anak- anaknya hidup menumpang juga.[16][17]
Ada tiga jenis
hubungan keluarga yaitu:
·
Keluarga dekat
(the close family), kerabat dekat yang terdiri atas individu yang terkait dalam
keluarga melalui hubungan darah, adopsi, dan atau perkawinan, seperti suami
isteri, orang tua, anak dan antar saudara (siblings).
·
Kerabat jauh
(discretionari kin), kerabat jauh terdiri dari individu yang terikat dalam
keluarga melalui hubungan darah, adopsi dan atau perkawinan, tetapi ikatan
keluarganya lebih dari pada kerabat dekat. Anggota kerabat jauh kadang-kadang
tidak menyadari akan adanya hubungan keluarga tersebut. Hubungan yang terjadi
di antara mereka biasanya karena kepentingan pribadi dan bukan karena adanya
kewajiban sebagai anggota keluarga. Biasanya mereka terdiri atas paman, bibi,
keponakan, dan sepupu.
·
Orang yang
dianggap kerabat, seorang dianggap kerabat karena adanya hubungan yang khusus,
misalnya hubungan antar teman akrab.
Bentuk keluarga yang berkembang di masyarakat
ditentukan oleh struktur keluarga dan domisili keluarga dalam seting
masyarakatnya. Dalam hal ini keluarga dapat dikategorikan pada keluarga yang
berada pada masyarakat pedesaan dengan bercirikan paguyuban, dan keluarga
masyarakat perkotaan yang bercirikan patembayan. Keluarga pedesaan memiliki
karakter keakraban antar anggota keluarga yang lebih luas dengan intensitas
relasi yang lebih dekat, sedangkan keluarga perkotaan biasanya memiliki relasi
lebih longgar dengan tingkat intensitas
pertemuan lebih terbatas.[18]
Dalam perkembangannya, kategori pedesaan dan
perkotaan menjadi bergeser karena dipengaruhi oleh peran-peran anggota keluarga
yang turut bergeser pula. Dahulu konsep pencari nafkah dibebankan pada suami dengan
status kepala keluarga namun pergeseran kehidupan keluarga pada masyarakat
tradisional menjadi masyarakat urban modern dapat mengubah gaya hidup,
peran-peran sosial, jenis pekerjaan dan volume serta wilayah kerja yang tidak
dapat dipisahkan secara dikotomis.
Bentuk-bentuk keluarga mengikuti perubahan
konstruksi sosial di masyarakat. Pada masyarakat urban perkotaan seperti di
Jakarta, terdapat tipologi keluarga yang tidak dapat dikategorikan ke dalam
keluarga dari masyarakat nasib, mereka membentuk keluarga besar yang memiliki intensitas hubungan yang mirip dengan
masyarakat paguyuban di pedesaan.
C.
Fungsi
Pendidikan Keluarga
Fungsi merupakan
gambaran sebagai apa yang dilakukan dalam keluarga. Fungsi keluarga berfokus
pada proses yang digunakan oleh keluarga untuk mencapai tujuan keluarga
tersebut. Proses ini termasuk komunikasi diantara anggota keluarga, penetapan
tujuan, resolusi konflik, pemberian makanan, dan penggunaan sumber dari
internal maupun eksternal.
Tujuan
reproduksi, seksual, ekonomi dan pendidikan dalam keluarga memerlukan dukungan
secara psikologi antar anggota keluarga, apabila dukungan tersebut tidak
didapatkan maka akan menimbulkan konsekuensi emosional seperti marah, depresi
dan perilaku yang menyimpang. Tujuan yang ada dalam keluarga akan lebih mudah
dicapai apabila terjadi komunikasi yang jelas dan secara langsung. Komunikasi
tersebut akan mempermudah menyelesaikan konflik dan pemecahan masalah.
1. Fungsi
Biologis
Bagi
pasangan suami-isteri (keluarga), keluarga menjadi tempat untuk dapat memenuhi
kebutuhan dasarnya, seperti sandang, pangan dan papan, sampai batas minimal dia
dapat mempertahankan hidupnya. Fungsi biologis inilah yang membedakan
perkawinan manusia dengan binatang, sebab fungsi ini diatur dalam suatu norma
perkawinan yang diakui bersama.29 Fungsi biologis keluarga ini, untuk
melanjutkan keturunan (reproduksi), dalam ajaran Islam juga disertai upaya
sadar agar keturunannya menjadi generasi yang unggul dan berguna, yaitu
generasi “dzurriyatun thoyyibah”.[19]
2. Fungsi
Edukatif
Fungsi
edukatif (pendidikan), keluarga merupakan tempat pendidikan bagi semua
anggotanya dimana orang tua memiliki peran yang cukup penting untuk membawa
anak menuju kedewasaan jasmani dan ruhani dalam dimensi kognitif, afektif
maupun skill, dengan tujuan untuk mengembangkan aspek mental spiritual, moral,
intelektual, dan profesional. Pendidikan keluarga Islam didasarkan pada QS.
at-Tahrim: “Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu….”(QS. At-Tahrim: 6)[20]
Fungsi edukatif
ini merupakan bentuk penjagaan hak dasar manusia dalam memelihara dan
mengembangkan potensi akalnya. Pendidikan keluarga sekarang ini pada umumnya
telah mengikuti pola keluarga demokratis di mana tidak dapat dipilah-pilah
siapa belajar kepada siapa. Peningkatan pendidikan generasi penerus berdampak
pada pergeseran relasi antar peran-peran anggota keluarga. Karena itu bisa
terjadi suami belajar kepada isteri, bapak atau ibu belajar kepada anaknya.
Namun teladan baik dan tugas-tugas pendidikan dalam keluarga tetap menjadi tanggungjawab
kedua orang tua. Dalam Hadits Nabi ditegaskan:
“Setiap
anak lahir dalam keadaan suci, maka orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi,
Nasrani, atau Majusi” (HR. Ahmad Thabrani, dan Baihaqi).[21]
3. Fungsi
Religius
Fungsi
religius, berkaitan dengan kewajiban orang tua untuk mengenalkan, membimbing,
memberi teladan dan melibatkan anak serta anggota keluarga lainnya mengenai
nilai-nilai dan kaidah-kaidah agama dan perilaku keagamaan. Dalam QS. Luqman:
13 mengisahkan peran orang tua dalam keluarga menanamkan aqidah kepada anaknya
sebagaimana yang dilakukan Luqman al Hakim terhadap anaknya.
Artinya:“Dan
(ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran;
hai ananda, janganlah kamu mempersekutukan Allah sesungguhnya mempersekutukan
Allah adalah benar-benar kedhaliman yang besar”.(QS. Luqman: 13)[22]
Fungsi ini
mengharuskan orangtua menjadi seorang tokoh inti dan panutan dalam keluarga,
baik dalam ucapan, sikap dan perilaku sehari- hari, untuk menciptakan iklim dan
lingkungan keagamaan dalam kehidupan keluarganya. Dengan demikian keluarga
merupakan awal mula seseorang mengenal siapa dirinya dan siapa Tuhannya.
Penanaman aqidah yang benar, pembiasaan ibadah dengan disiplin, dan pembentukan
kepribadian sebagai seorang yang beriman sangat penting dalam mewarnai
terwujudnya masyarakat religius.
4. Fungsi
Protektif
Fungsi
protektif (perlindungan) dalam keluarga, dimana keluarga menjadi tempat yang
aman dari gangguan internal maupun eksternal keluarga dan untuk menangkal
segala pengaruh negatif yang masuk baik pada masa sekarang ini dan masa yang
akan datang. Gangguan internal dapat terjadi dalam kaitannya dengan keragaman
kepribadian anggota keluarga, perbedaan pendapat dan kepentingan, dapat menjadi
pemicu lahirnya konflik bahkan juga kekerasan.
5. Fungsi
Sosialisasi
Fungsi
sosialisasi adalah berkaitan dengan mempersiapkan anak untuk menjadi anggota
masyarakat yang baik dan berguna, mampu memegang norma-norma kehidupan secara
universal baik inter relasi dalam keluarga itu sendiri maupun dalam mensikapi
masyarakat yang pluralistik lintas suku, bangsa, ras, golongan, agama, budaya,
bahasa maupun jenis kelaminnya.
Dalam
melaksanakan fungsi ini, keluarga berperan sebagai penghubung antara kehidupan
anak dengan kehidupan sosial dan norma- norma sosial, sehingga kehidupan di
sekitarnya dapat dimengerti oleh anak, dan pada gilirannya anak dapat berfikir
dan berbuat positif di dalam dan terhadap lingkungannya. Lingkungan yang
mendukung sosialisasi antara lain ialah tersedianya lembaga-lembaga dan sarana
pendidikan serta keagamaan.
6. Fungsi
Rekreatif
Fungsi
ini tidak harus dalam bentuk kemewahan, serba ada, dan pesta pora, melainkan
merupakan tempat yang dapat memberikan kesejukan dan melepas lelah dari seluruh
aktifitas masing-masing anggota keluarga. Suasana rekreatif akan dialami oleh
anak dan anggota keluarga lainnya, apabila dalam kehidupan keluarga itu
terdapat suasana yang menyenangkan, saling menghargai, menghormati, dan
menghibur masing- masing anggota keluarga sehingga tercipta hubungan harmonis,
damai, kasih sayang dan setiap anggota keluarga merasa “rumahku adalah
surgaku”.
7. Fungsi
Ekonomis
Fungsi
ekonomis menunjukkan bahwa keluarga merupakan kesatuan ekonomis. Dimana
keluarga memiliki aktivitas dalam fungsi ini yang berkaitan dengan pencarian
nafkah, pembinaan usaha, perencanaan anggaran belanja, baik penerimaan maupun
pengeluaran biaya keluarga, pengelolaan dan bagaimana memanfaatkan
sumber-sumber penghasilan dengan baik, mendistribusikan secara adil dan
proporsional, serta dapat mempertanggungjawabkan kekayaan dan harta bendanya
secara sosial maupun moral.
Pelaksanaan
fungsi ini oleh dan untuk keluarga dapat meningkatkan pengertian dan
tanggungjawab bersama para anggota keluarga dalam kegiatan ekonomi. Pada
gilirannya, kegiatan dan status ekonomi keluarga akan mempengaruhi, baik
harapan orang tua terhadap masa depan anaknya, maupun harapan anak itu sendiri.[23]
Ditinjau
dari ketujuh fungsi keluarga tersebut, maka jelaslah bahwa keluarga memiliki
fungsi yang vital dalam pembentukan individu. Oleh karena itu keseluruhan
fungsi tersebut harus terus menerus dipelihara. Jika salah satu dari
fungsi-fungsi tersebut tidak berjalan, maka akan terjadi ketidakharmonisan
dalam sistem keteraturan dalam keluarga.[24]
D.
Metode
Pendidikan Keluarga
Metode atau
metoda berasal dari bahasa Yunani yaitu metha dan hodos. Metha berarti melalui
atau melewati, dan hodos berarti jalan atau cara. Metode berarti jalan atau
cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam bahasa Arab
disebut thariqat. Mengajar berarti menyajikan atau menyampaikan. Jadi, metode
mengajar berarti suatu cara yang harus dilalui untuk menyajikan bahan
pengajaran agar tercapai tujuan pengajaran.
Langgulung
berpendapat bahwa penggunaan metode didasarkan atas tiga aspek pokok yaitu:
1. Sifat-sifat
dan kepentingan yang berkenaan dengan tujuan utama pendidikan Islam, yaitu pembinaan
manusia mukmin yang mengaku sebagai hamba Allah.
2. Berkenaan
dengan metode-metode yang betul-betul berlaku yang disebutkan dalam Al-Qur’anatau
disimpulkan daripadanya.
3. Membicarakan
tentang pergerakan (motivation) dan disiplin dalam istilah Al-Qur’an disebut
ganjaran (sawab) dan hukuman (iqab).[25][26]
Berhasil atau
tidaknya suatu pendidikan, antara lain juga tergantung pada metode yang
dipergunakannya. Karena metode pendidikan atau pengajaran merupakan salah satu
komponen yang ikut menentukan keberhasilan pendidikan disamping
komponen-komponen yang lain, seperti tujuan materi dan lain-lain sebagainya.
Demikian pula
halnya pendidikan keluarga, juga memerlukan adanya metode sebagai alat untuk
mencapai tujuan pendidikan. Rasulullah telah memberikan contoh bagaimana metode
mendidik agama yang tepat yang dapat dipergunakan dalam lembaga pendidikan
formal di sekolah, informal dalam keluarga atau non formal di masyarakat.
Adapun metode-metode yang dipergunakan oleh Rasulullah dahulu antara lain:
1)
Metode Uswatun
Hasanah
Metode
uswatun hasanah atau pemberian contoh teladan yang baik, sangat cocok untuk
diterapkan sebagai salah satu metode mendidik agama dalam keluarga. Yaitu
dengan pemberian contoh tauladan dari orang tua dalam segala sikap, kata-kata
maupun dalam perbuatannya. Karena anak-anak pertama kali yang akan ditiru
adalah orang tuanya baru kemudian guru-guru atau masyarakat sekitarnya.
Dalam
Al- Qur‟an surat Al-Ahzab ayat 21 di sebutkan: Artinya:“Sesungguhnya telah ada
pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu”.(QS. Al-Ahzab: 21)
2)
Metode Nasehat,
Ceramah
Metode
pemberian nasehat adalah metode yang sangat tepat untuk diterapkan dalam
pendidikan keluarga. Lebih-lebih metode ini dicontohkan dalam
Al-Qur‟an, yaitu pada
saat Luqmanul Hakim mendidik kepada anaknya, sebagaimana
disebutkan dalam surat Luqman ayat 13: Artinya:“Dan ingatlah ketika Luqman
berkata kepada anaknya, dan dia menasehatinya: Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar
kedhaliman yang besar”.(QS. Luqman: 13)39[27]
Kemudian
juga disebutkan dalam surat An-Nahl ayat 125: Artinya:“Ajaklah kepada Tuhanmu
dengan bijaksana dan dengan memberikan nasehat yang baik”.(QS. An-Nahl: 125)
Disamping
pemberian nasehat, juga dapat dipergunakan metode cerita, menceritakan
Nabi-Nabi, pahlawan-pahlawan Islam dan lain-lain sebagainya. Metode ini dapat
dimasukkan dalam metode ceramah, karena pada dasarnya metode ceramah adalah
penuturan lewat lisan. Metode ini banyak dipergunakan oleh para Rasul, seperti dalam do’a Nabi Musa: “Ya
Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, dan lepaskanlah kekeluan
lidahku, agar mereka faham kata-kataku”.
3)
Metode Tanya
Jawab
Metode
tanya jawab ini dapat dipergunakan dalam pendidikan keluarga, karena pada
umumnya anak-anak sejak kecil mereka sering bertanya, misalnya tentang siapa
yang membuat bumi seisinya, siapa Tuhan dan lain-lain sebagainya. Semakin besar
anak tersebut, maka pertanyaannya juga semakin beragam. Karena itu maka orang
tua harus pandai-pandai dalam menjawab pertanyaan itu, agar jangan menimbulkan
keraguan dalam jiwa anak.42 Metode tanya jawab ini juga dipergunakan pada masa
Rasulullah, pada saat beliau mengutus Mu‟az bin Jabal untuk menjadi hakim di
Yaman, tentang penentuan Hukum Islam.
4)
Metode
Demonstrasi
Metode
demonstrasi yaitu, memperlihatkan kepada anak car-cara melakukan suatu
perbuatan, seperti misalnya cara wudlu, cara sholat dan lain sebagainya. Metode
ini juga dipergunakan oleh Rasulullah pada saat beliau akan mengajarkan sholat.
Sebagaimana
disebutkan dalam hadits Nabi: “Sholatlah kamu sekalian seperti kamu lihat aku
melakukan sholat”. (H.R. Bukhari)
Metode
demonstrasi ini sangat penting artinya bagi pendidikan keluarga, yang
dipergunakan untuk mengajarkan kepada anak cara- cara melakukan ibadah. Setelah
diperlihatkan kepada mereka cara-cara berwudlu dan cara-cara melakukan sholat,
maka selanjutnya melatih mereka untuk melakukannya sendiri.
5)
Metode
Musyawarah dan Diskusi
Adakalanya
dalam mendidik agama dalam keluarga, kita mempergunakan metode musyawarah,
dimana anak-anak dilihatkan untuk ikut memecahkan suatu masalah. Sehingga
dengan demikian anak-anak merasa diakui keberadaannya, terutama baik anak yang
sudah remaja. Sebagai contoh: mengadakan musyawarah tentang pembagian harta,
zakat, jumlahnya, macamnya zakat, siapa-siapa yang akan mendapatkan bagian dan
lain sebagainya. Secara langsung anak-anak akan mendapatkan pendidikan tentang
zakat dan sekaligus mempraktekannya.
6)
Metode Karya
Wisata
Metode
karya wisata ialah suatu metode mendidik agama dengan jalan mengajak anak-anak
untuk melihat keagungan ciptaan Allah. Suatu waktu memang kita sebagai orang
tua perlu mengajak anak-anak untuk melakukan wisata, disamping untuk rekreasi,
juga ada manfaat lain, untuk menunjukkan kepada anak-anak ciptaan Allah Yang
Maha Kuasa. Seperti melihat pantai, gunung-gunung, air terjun dan lain
sebagainya. Dan dengan cara ini diharapkan akan dapat meningkatkan keimanannya
kepada Allah SWT.
Disamping enam
metode yang disebutkan diatas, masih ada metode- metode lain yang dapat
dipergunakan, seperti metode drill, sosio drama dan lain sebagainya. Yang
penting harus diperhatikan adalah, dalam memilih metode-metode itu hendaknya
selalu disesuaikan dengan situasi dan kondisi anak dan sesuai pula dengan pokok
materi yang akan ditanamkan kepada mereka.
E.
Pelaksanaan
Pendidikan Keluarga
Pendidikan
keluarga dilaksanakan di lingkungan keluarga. Pendidikan keluarga dilaksanakan
oleh orang tua kepada anak-anaknya. Anak menyerap norma-norma pada anggota
keluarganya, baik ayah, ibu, maupun kanak- kanaknya. Keluarga merupakan ajang
pertama dimana sifat-sifat kepribadian anak bertumbuh dan terbentuk.
Pelaksanaan
kegiatan pendidikan ini tanpa suatu organisasi yang ketat tanpa adanya program
waktu (tak terbatas) dan tanpa adanya evaluasi. Beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam melaksanakan pendidikan keluarga :
1. Usaha
untuk menciptakan suasana yang bersih dalam lingkungan keluarga.
2. Sikap
anggota keluarga hendaklah belajar berpegang pada hak dan kewajiban
masing-masing.
3. Orang
tua hendaklah mengetahui tabiat untuk anak-anaknya.
4. Hindari
segala sesuatu yang menusuk perkembangan jiwa anak.
5. Biarkan
anak bergaul dengan teman-temannya di luar lingkungan keluarga.
6. Ciptakan
kondisi yang harmonis antara anggota keluarga.
Konsepsi pendidikan Islam dalam keluarga dapat
dibagi menjadi tiga periode, yaitu:
a. Periode
Pra-Konsepsi
b. Periode
Pra-Natal
c. Periode
Post-Natal
Masing-masing periode tersebut akan dijelasan secara
singkat.
1) Periode
Pendidikan Pra Konsepsi
Yaitu dimaksud
periode pendidikan Pra-Konsepsi adalah salah satu upaya persiapan pendidikan
yang dimulai semenjak seseorang merancang untuk membentuk keluarga, yang
dimulai dengan memilih calon pasangan hidupnya, dan kemudian melaksanakan
perkawinan dulunya.
Dalam hal ini
Islam telah mengajarkan hal-hal sebagai berikut:
Pada
saat seseorang akan memilih jodoh, maka agama Islam mengajarkan, agar supaya
mengutamakan segi agamanya. Yang berarti seorang Muslim atau Muslimah hendaknya
mencari pasangan hidupnya yang sama-sama beragama Islam, agar kelak rumah
tangganya menjadi tenang tentram (sakinah) serta bahagia lahir dan batin.46
Sebagaimana diajarkan dalam firman Allah dalam surat Al-Baqaroh ayat 221: Artinya:“Dan
janganlah kamu menikah dengan wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman. Sesungguhnya
budak perempuan yang mukmin itu lebih baik daripada perempuan yang musyrik,
walaupun dia itu sangat mempesona kamu. Dan janganlah kamu menikahkan (anak
perempuanmu) dengan pria musyrik sampai mereka beriman. Sesungguhnya budak
laki-laki yang mukmin itu lebih baik daripada laki-laki musyrik; walaupun mereka
amat menggiurkan kamu. Mereka itu mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke
surga dan pengampunan dengan izin-Nya”.(QS. Al-Baqarah: 221)[28]
Berdasarkan
ayat tersebut diatas, maka jelaslah pada kita, bahwa Islam telah memberikan
acuan kepada kita bagaimana cara memilih calon isteri dan calon suami, yaitu
pertimbangan pertama harus yang seagama dan berbudi pekerti yang baik, kemudian
barulah masalah keturunan, harta dan kebagusan atau kecantikannya. Karena
ketika seseorang hendak menikah, haruslah sudah terbayang akan tanggug jawab
terhadap anak- anak yang akan lahir kelak.
Setelah
mendapat calon suami atau isteri yang beriman atau seagama, maka dilanjutkan ke
jenjang perkawinan. Perkawinan tersebut haruslah sesuai dengan hukum syari‟at
Islam, dan bagi kita bangsa Indonesia harus sesuai dengan Undang-Undang
Perkawinan No.1/1974.
Yang
berarti bahwa perkawinan tersebut haruslah syah menurut syariat
Islam dan syah
menurut hukum negara.
Dengan
adanya perkawinan yang syah tersebut, maka akan mempunyai dampak positif dalam
kehidupan rumah tangganya dan juga bagi keturunannya. Sehingga dengan demikian
akan dapat terwujud tujuan perkawinan sesuai dengan ajaran Islam yaitu
terciptanya keluarga sakinah, selalu rukun dan harmonis dan penuh dengan cinta
kasih diantara anggota keluarga.
Setelah
terbentuknya rumah tangga Muslim itu, maka langkah berikutnya adalah mencari
rizki yang halal dan juga makan makanan
yang halal pula. Sebagaimana
disebutkan Al-Qur’an ayat 114 surat an-Nahl. Artinya: “Maka makanlah yang halal
lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat
Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah”.(QS. An-Nahl: 114)[29]
Langkah
selanjutnya dalam pendidikan pra-konsepsi tersebut, adalah mengucapkan do’a-do’a
bilamana suami isteri melakukan senggama.[30]
2) Periode
Pendidikan Pra-Natal
Pendidikan
Pra-Natal, adalah pendidikan yang dilaksanakan pada saat anak masih merupakan
janin/embrio yaitu pada saat anak masih
berada dalam rahim
ibunya. Al-Qur’an telah memberikan contoh kepada kita tentang
pendidikan pra-natal, sebagaimana disebutkan dalam surat Ali Imran ayat 35. Artinya:“(Ingatlah),
ketika isteri 'Imran berkata: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku menazarkan
kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan
berkhidmat (di Baitul Maqdis). karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku.
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui".(QS. Al-
Imran: 35)
Dari
ayat tersebut memberikan contoh kepada kita ummat Islam untuk melaksanakan
pendidikan pra-natal dengan
cara berdo’a kepada Allah, agar
anak yang dikandungnya menjadi anak yang sholeh.
3) Periode
Pendidikan Post-Natal
Pendidikan
Post-Natal yaitu pendidikan yang dilakukan setelah lahirnya anak sampai pada
saat anak meninggal dunia. Setelah bayi itu lahir, barulah dia diakui sebagai
pribadi yang mandiri, sebagaimana dikemukakan oleh Habsi Ashidiqi dalam buku
Pengantar Hukum Islam. Beliau mengemukakan: Apabila janin lahir, barulah diakui
berdiri sendiri sebagai seorang pribadi, dan sempurnalah pertanggungannya dan
barulah dia dipandang ahli untuk memperoleh hak.
Dalam
kaitannya dengan pendidikan Islam dalam keluarga, semenjak anak tersebut
dilahirkan, maka sejak itu pula orang tua wajib memberikan pendidikan kepada
anaknya utamanya pendidikan Islam. Namun, dalam pemberian pendidikan itu harus
disesuaikan dengan perkembangan jiwa anak.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
1. Keluarga merupakan wadah bagi anak dalam konteks proses
belajarnya untuk mengembangkan dan membentuk diri dalam fungsi sosial.
Disamping itu juga sebagai tempat belajar bagi anak dalam segala sikap untuk
berbakti kepada Tuhan sebagai perwujudan nilai hidup yang tertinggi.
2.
Kerja sama antara keluarga dan sekolah sangat di butuhkan,
karena tidak mungkin keluarga dapat mendidik anak secara detail dan rinci,
sebab jika orang tua saja yang mendidik anak akan ketinggalan pengetahuan, baik
dari intelektualnya maupun sosialnya. Perlu kita ketahui pendidikan disekolah
akan lebih efektif karena sekolah memiliki program tertentu sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional dan visi misi sekolah.
3.
Oleh sebab itu dengan adanya kerja sama dari sekolah,
masyarakat, guru dan keluarga khusunya dibidang pendidikan peserta didik, maka
akan menghasilkan anak didik yang tidak hanya unggul dalam bidang akademik
tetapi juga mampu hidup bermasyarakat.
B.
Saran
Makalah ini jauh dari kata
sempurna, oleh sebab itu kami sebagai penyusun berharap agar setiap mahasiswa
mencari dan menggali sumber-sumber lain dari buku-buku yang relevan. Untuk
kemajuan kita bersama.
DAFTAR
PUSTAKA
Hafid
Anwar dkk,2013,Konsep Dasar Ilmu
Pendidikan,PT Alfabeta: Bandung.
Hasbulloh,2011, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, PT Raja
Grafindo Persada: Jakarta.
http://indonesia-admin.blogspot.com/2010/02/kerja-sama-keluarga-sekolah.html
diakses tanggal 3 April 2019 20.00 WIB
http://teratakhijau3.blogspot.com/2013/01/konsep-hubungan-sekolahdan-masyarakat
1813.html diakses tanggal 3 April 2019
20.00 WIB
Kurniawan,
2011, pemikiran pendidikan, LP2 STAIN
CURUP : Curup .
Nuzuar,
2012, Pengantar Ilmu Pendidikan, LP2 STAIN CURUP: Curup.
[1] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), 702
[2] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), cet. Ke-2, 1
[3] Abu Ahmadi dan Nur Ubhiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), 70
[4] M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), 11
[6] Abdul Aziz, Pendidikan Agama dalam Keluarga: Tantangan Era Globalisasi, Himmah, 346
[7] Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyrakatan (Vol. 6, No. 15, Januari-April 2005), 73
[8] Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua & Anak dalam Keluarga, 2
[9] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 155-156
[10] Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), cet. Ke-3, 329
[11] Ahamd D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Maarif, 1989), 46
[12] Uyoh Sadulloh, Ilmu Pendidikan Islam, 58
[13] Hasan Langgulung, Teori-teori Kesehatan Mental, (Selangor: Pustaka Muda, 1983), 240
[14] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al- Ma‟arif, 1980), 147
[15] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 24
[16] Atas hendartini Habsjah, Jender dan Pola Kekerabatan dalam TO Ihromi (ed), Bunga Rampai Sosiologi Keluarga (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), 218
[18] Mufidah ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang: UIN Malang Press, 2008), cet. Ke-1, 41
[19] Mufidah ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, 43
[20] Muhammad Tholhah Hasan, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Keluarga, 8
[21] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Syamil Cipta Media, 2005), 560
[22] Muhammad bin Hiban Abu Hatim al Tamimiy, Shahih Ibnu Hibban, Juz 1 (Beirut: Muasasah Risalah, 1993), 336
[23] Muhammad Tholhah Hasan, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Keluarga, 8-10
[24] Mufidah ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, 47
[25] Zuhairini, Pendidikan Islam Dalam Keluarga, Pidato Pengukuhan Guru Besar, (Surabaya: Rapat Senat Terbuka IAIN Sunan Ampel, 1993), 29
[27] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 420
[28] Zuhairini, Pendidikan Islam Dalam Keluarga, 35
[29] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 280
[30] Zuhairini, Pendidikan Islam Dalam Keluarga, 39
No comments:
Post a Comment